Oleh Diandra Natakembahang
Peminat Budaya dan Sastra Lampung
Tinggal di Bandar Lampung
Perbalahan
dalam penggunaan huruf r versus kh dan gh sepertinya masih juga
berlangsung, Udo karzi sebagai salah satu penulis yang kerap mengusung
tema ke’Lampung’an masih juga ngotot mengklaim bahwa
penulisan r bagi kosakata Lampung yang berlafal kh atau gh adalah yang
sah dan paling benar. Benarkah demikian? Udo menguatkan pembenaran
argumennya dengan mengutip pendapat beberapa akademisi seperti Ir Irfan
Anshory, Junaiyah H.M, Prof Frederik Holle, Prof Gijsbertus de Casparis
hingga H.N. Van Der Tuuk, Udo juga mengutip manuskrip manuskrip Lampung
terdahulu sepertimana yang tercantum dalam Les Manuscrifts Lampongs nya
H.N. Van De Tuuk. Padahal sebenarnya sejak era kolonial yang berarti
sebelum ejaan EYD digunakan pada medio 1972, justru telah dikenal
penggunaan ch sebagai penulisan kosakata yang berlafal kh, sebagaimana
di Lampung juga pada era keresidenan telah menggunakan penulisan ch pada
teks teks berbahasa Lampung termasuk dokumen dokumen seperti Besluit
[Surat Keputusan].
Udo karzi
yang didakwa sebagai revolusioner dalam sastra Lampung justru terjebak
pada klaim sepihak tentang pembenaran penggunaan huruf r sebagai satu
satunya yang sah dalam penulisan huruf Lampung pada kosakata berlafal kh
dan gh. Selama ini Udo karzi dikenal sebagai pendobrak dalam dunia
sastra Lampung dan dianggap sebagai pionir dalam mempopulerkan puisi
modern Lampung. Udo sendiri telah melanggar semua pakem dan tatanan
syair Lampung, yang secara tradisional memiliki rima aa bb atau ab ab
seperti dalam syair Pepaccokh, Bandung dan Segata. Namun sepertinya
dalam hal penggunaan kh dan gh yang jelas jelas mengakomodir lafal
kosakata Lampung, Udo justru memilih status quo. Dalam tulisan kecil ini
saya ingin mengemukakan beberapa alasan dan poin mengapa huruf r tidak
bisa menggantikan kosakata Lampung yang berlafal kh atau gh, dan bahwa
penggunaan kh dan gh lebih pas dan ideal bagi kosakata Lampung yang
berlafal sama.
Setidaknya ada
lima poin yang mendukung penggunaan kh dan gh dalam penulisan kosakata
yang berlafal sama. Pertama, Had Lampung saat ini terdiri dari dua puluh
buah masing masing ka ga nga pa ba ma ta da na ca ja nya ya a la ra sa
wa ha gha/kha, Ini jelas berarti bahwa ra dan gha/kha adalah dua huruf
yang berbeda dan peruntukannya disesuaikan dengan kosakata yang akan
ditulis, karena jika tidak dibedakan penulisannya maka pembaca khususnya
yang bukan penutur bahasa Lampung akan mengalami kegalatan dalam
membedakan huruf r yang dibaca r dengan huruf r yang dibaca kh/gh.
Penulisan yang salah jelas akan mengaburkan arti yang sesunggguhnya,
seperti hakhu yang dalam bahasa Lampung berarti pengaduk tanakan nasi
jika ditulis haru maka para pembaca khususnya yang bukan penutur bahasa
Lampung akan mengartikannya sesuai dengan pengucapannya, haru yang
artinya jadi berbeda yaitu iba.
Kedua,
komparasi yang tepat dan ideal dalam menggambarkan penggunaan lafal kh
dan gh adalah seperti kho dan ghin dalam huruf Arab, persis sama dengan
penggunaan kh dan gh dalam bahasa Lampung. Dalam penulisan aksara Arab
juga dalam penulisan latinnya, kosakata yang menggunakan huruf kho atau
ghin tidak lantas ditulis atau diganti dengan huruf r [ra] karena jelas
arti dan maknanya akan jadi berbeda, hal yang sama tentunya berlaku
dalam penulisan kosakata Lampung. Pelafalan kho dalam huruf Arab persis
sama seperti pelafalan kh pada mayoritas penutur bahasa Lampung yang
berdialek Belalau/dialek Api, sementara pelafalan ghin persis sama
seperti pelafalan gh pada mayoritas penutur bahasa Lampung yang
berdialek Abung/dialek Nyow.
Ketiga,
penulisan kh/gh pada kosakata Lampung yang berlafal sama lebih lazim
digunakan ketimbang digantikan atau ditulis dengan huruf r. Berbagai
media penulisan teks berbahasa Lampung menggunakan penulisan kh/gh,
mulai dari kehidupan sehari hari seperti saat menulis di sms dan media
sosial hingga yang relatif formal dan baku seperti penulisan naskah
pidato dipemerintah daerah, naskah berita dibroadcasting radio dan
televisi seperti RRI dan TVRI, hingga buku buku pelajaran bahasa Lampung
dan kamus bahasa Lampung. Beberapa kamus bahasa Lampung yang dimaksud
adalah seperti Kamus Bahasa Lampung, Indonesia-Lampung dan
Lampung-Indonesia oleh Drs Fauzi Fattah MM [Gunung Pesagi, 1998] dan
Kamus Lengkap Bahasa Lampung, Indonesia-Lampung Lampung-Indonesia oleh
Dr. Eng. Admi Syarif [Lembaga Penelitian Universitas Lampung, 2008]. Hal
tersebut membuktikan bahwa secara empiris penulisan kh/gh jauh lebih
lazim digunakan sehari hari hingga untuk kebutuhan yang lebih formal
oleh penutur bahasa Lampung secara de facto ketimbang ditulis dengan
huruf r.
Keempat,
dalam bahasa Indonesia dikenal beberapa konsonan atau gabungan huruf,
masing masing adalah ng, ny, sy dan kh, hal ini jelas membuktikan bahwa
penggunaan kh adalah sesuai dengan tata bahasa Indonesia. Pada Kamus
Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka terdapat beberapa kosakata
yang menggunakan konsonan kh seperti khas, khasiat, khalayak, khawatir,
khitan, khianat, khidmat, khilaf, khotbah, khusuk, khusus dan lain
lain. Ini jelas berarti bahwa KBBI juga mengakomodir penulisan kh dalam
kosakata yang berlafal sama dan tidak menuliskannya dengan huruf r, h, k
atau g. Pelafalan kh seperti pada kosakata kosakata yang terdapat dalam
KBBI adalah persis sama dengan pelafalan kh pada sebagian besar penutur
bahasa Lampung dialek Belalau/dialek Api. Contoh Ilustrasi penulisan
seperti pada kosakata bahasa Indonesia “khas”, tidak lantas ditulis
dengan kas, has atau ras, mengapa? Karena artinya akan jadi sangat jauh
berbeda, kas artinya simpanan, has merupakan salah satu bagian dari
daging dan ras artinya warna kulit, ini jelas menunjukkan betapa
rancunya penulisan bila tidak disesuaikan dengan pelafalannya.
Kelima,
penulisan huruf dibeberapa bahasa daerah di Indonesia seperti dalam
bahasa Sunda dan Jawa, penulisan kosakatanya disesuaikan juga dengan
lafalnya. Seperti bahasa Sunda yang mengenal tujuh vokal, selain a, i,
u, e, o, bahasa Sunda juga mengenal vokal e pepet dan eu yang mirip
dengan e pepet namun memproduksi suaranya dengan mulut lebih terbuka.
Vokal eu terdapat pada kosakata seperti dieu, ceuk, peuyem, taneuh,
beureum, meureun dan lain lain yang kesemuanya ditulis sesuai dengan
pengucapannya, tidak lantas digantikan dengan e atau e pepet. Sementara
dalam bahasa Jawa konsonan dh terdapat pada kosakata seperti wedhi,
wedhok, randha, padha dan padhang yang juga ditulis sesuai dengan
pelafalannya, tidak lantas ditulis wedi, wedok, randa, pada dan padang.
Jika pada bahasa bahasa daerah lain di Indonesia penulisan kosakatanya
disesuaikan dengan pengucapannya, lantas mengapa untuk bahasa Lampung
menuliskan kh/gh untuk kosakata yang berlafal sama dianggap haram dan
salah?
Lampung saat ini sudah
kecolongan sehingga orang orang diluar Lampung bahkan elemen masyarakat
Lampung sendiri telah salah dalam melafalkan kosakata dan kalimat bahasa
Lampung yang dituliskan dengan r. Beberapa contoh kosakata dan kalimat
yang dimaksud, seperti pada semboyan Sang Bumi Ruwa Jurai, Ramik Ragom
dan Helauni Kibarong yang dibaca dan dimaknai sama seperti tulisannya,
padahal seharusnya dimaknai dan dibaca sebagai Sang Bumi Khuwa Jukhai,
Khamik Khagom dan Helau ni Kik Bakhong. Lalu nama nama daerah seperti
Ranau, Seranggas dan Kerang juga akhirnya dibaca dan dimaknai sama
sebagai Ranau, Seranggas dan Kerang seperti nama makhluk bercangkang
tersebut dalam bahasa Indonesia, padahal sebenarnya nama ketiga daerah
ini adalah Khanau, Sekhanggas dan Kekhang. Hal ini jika terus menerus
terjadi akan sangat fatal karena secara akumulasi akan mengakibatkan
pergeseran makna secara kebahasaan dan degradasi nilai dari sisi
sejarah.
Selain pada kata dan
kalimat berfonem kh/gh yang ditulis menjadi r, beberapa nama daerah
telah mengalami pergeseran makna secara fatal karena berusaha
di”Indonesia”kan dan dihilangkan unsur Lampungnya, seperti pada nama
daerah Kota Agung, Kota Bumi dan Kota Besi, padahal yang benar adalah
Kuta Agung, Kuta Bumi dan Kuta Besi. Dalam bahasa Lampung sendiri tidak
mengenal istilah “city” atau kota melainkan “pasakh” sebagai pusat
perekonomian atau niaga, sehingga ada penyebutan seperti Pasakh Liwa
atau Pasakh Kuta Agung, pasar sendiri dalam bahasa Lampung disebut
“pekan”, sementara “kuta” yang pada nama beberapa daerah bergeser
menjadi kota, sebenarnya dalam bahasa Lampung berarti pagar atau
pembatas, persis serupa seperti kata “huta” dalam bahasa Batak. Ilustrasi
dan komparasi diatas sebenarnya hanya ingin menggambarkan betapa
pentingnya menuliskan kosakata dan kalimat yang disesuaikan dengan fonem
dan pengucapannya sehingga akan didapat pelafalan dan makna yang
sesungguhnya, selain itu juga menggambarkan apa yang terjadi jika hal
ini terus dilakukan.
Oleh sebab
itu, langkah pemerintah Kabupaten Lampung Selatan yang menuliskan
motonya sebagai Khagom Mufakat bukan Ragom Mufakat, dapatlah dijadikan
salah satu contoh langkah baru dalam mengakomodir penulisan kh/gh untuk
kalimat dengan pelafalan yang sama. Penulisan kh/gh pada media tulis
berbahasa Lampung yang selama ini sudah lazim digunakan dapatlah menjadi
bukti tentang ciri khas kearifan lokal Lampung pada pelafalan
bahasanya, namun tentu saja kita harus tetap arif dalam menyikapi
dinamika terkait bahasa Lampung. Akhirnya semoga coretan kecil ini dapat
menjadi masukan bagi para fihak, care taker dan tentunya bagi kita
penutur bahasa Lampung untuk terus mengapesiasi eksistensi bahasa dan
sastra Lampung pada berbagai sendi kehidupan secara lisan, tulisan
maupun visual lewat berbagai media dengan tetap melestarikan keotentikan
kosakata bahasa Lampung namun juga tetap kritis terhadap semua wacana
terkait bahasa Lampung. ”Telaju Guway Pepakhda Haga, Telaju Kicik
Pepakhda Ngangkon”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar